Syaiful Bahri
Ruray (Budayawan)
|
Ilmuwan senior Amerika Serikat, Noam
Chomsky, yang selalu kritis terhadap realitas dunia, menulis buku lamanya
dengan judul yang masih tetap menarik bagi kita, Who Rules The World? bukan hanya itu tentu bukunya, banyak
judul yang bertebaran seputar Amerika hingga Israel dan konflik Timur Tengah.
Tentu saja kritisismenya selalu menggelitik kita karena kebebasan akademis
demikian dilindungi oleh negara-negara yang dianggap maju. Buku tersebut seakan
menggugat hyperpower Amerika Serikat atas dunia. Dalam
sebuah judul lain Chomsky malah mempersoalkan eksistensi Israel dan dukungan
Amerika Serikat selama ini. Ia dengan tajam menggambarkan dalam Pirate and
Emperors, Old and New dalam
buku tersebut. Chomsky mengkritisi terorisme internasional di dunia nyata.
Chomsky mengawali tulisannya dengan mengutip St. Agustinus yang melukiskan
percakapan Alexander Yang Agung (Alexander The
Great) dengan
seorang perompak laut. Alkisah, Alexander Yang Agung menangkap seorang bajak
laut dan bertanya kepadanya, “heh, berani-beraninya kamu menggangu keamanan di
lautan?” Sang bajak laut menjawab, “heh, berani-beraninya kamu menggangu
keamanan di seluruh dunia?” bajak laut tersebut melanjutkan jawabannya, “karena
saya hanya menyerang dengan kapal kecil saya disebut pencuri; sementara kamu,
menyerbu dengan armada laut yang hebat, tetapi kamu disebut Kaisar.” Chomsky
seakan mau membuka mata kita bahwa dunia pertarungan hegemoni manusia, memang
tidak pernah selesai-selesainya. Dalam sebuah wawancara dengan AFP, intelektual
berusia 91 tahun itu menyebut Trump sebagai ‘megalomania sosiopat’ yang hanya
memikirkan dirinya sendiri dan kekuatannya. Ia menyerang pemerintah yang kacau
menghadapi pandemi virus corona. Chomsky mengatakan tidak ada kepemimipian yang
koheren, ini kacau, karena Gedung Putih hanya fokus pada prospek pemilihan dan
tidak peduli apa yang terjadi pada negara dan dunia. Sementara angka korban di
Amerika telah jauh melampaui korban perang Vietnam. Trump balik menuduh China
menyebabkan pembunuhan massal di seluruh dunia. Sehingga menurut Chomsky,
negara tidak lagi memiliki sistem perawatan kesehatan universal. Negarapun
menjadi “neo-liberal total.” Berita tentang Chomsky yang dirilis Reza Kuncoro
pada 26 Mei,2020, tentu sebelum Amerika di kacaukan oleh kasus tewasnya George
Floyd di Minneapolis, lalu disusul lagi dengan tewas Rayshard Brooks (27 tahun)
ditangan polisi Atlanta. Kejadian ini telah memicu demonstrasi anti rasisme
disetiap kota besar Amerika, bahkan di ikuti demo solidaritas dari London
didepan kediaman PM Inggris, Downing Street 10, hingga Tokyo dan New Zealand,
Athena bahkan Tel Aviv. Sementara menurut laporan CNBC Idonesia yang dirilis
Edward Ricardo Sianturi, hutang Amerika Serikat di tengah pandemi corona telah
mencapai angka fantastis, Rp. 782.600 Trilyun, sebagaimana diungkapan Federal
Reserve pada 11 Juni, 2020.
Dunia seakan tersentak, bahwa ditengah
ancaman pandemi global, manusia bukan menjadi lebih ‘wise’ malah nekat dan brutal antara
sesamanya. Bahkan corona pada sisi lain, telah membuka dengan terang benderang
di depan mata kita, akan kekuasaan, mana yang berpihak pada keselamatan warga
dan mana yang tetap ngotot memikirkan langgengya kekuasaannya. Jika mengikuti
adagium lama filsuf Romawi Cicero, menyatakan: salus populi, suprema lex
esto (keselamatan
rakyat, adalah hukum yang tertinggi). Bahkan keselamatan rakyat tersebut, dalam filsafat Cicero
tersebut, melampaui konstitusi sendiri.
Ancaman di
Sekitar Indonesia
Bagi kita di Indonesia, kekisruhan akibat
pandemi juga tak kalah hebatnya, karena penerapan ‘new normal’ yang masih dalam tanda tanya, ketika
gelombang pertama Covid-19 ini belum berakhir, kita nekat mengikuti dengan
latah, kebijakan new normal ada beberapa negara lain. Sedianya new normal
adalah relaksasi setelah lockdown sekian lama yang meghadirkan konsekwensi dan
implikasi pada berbagai bidang. Dari pendidikan, ekonomi, birokrasi, sistem
kesehatan nasional, bahkan budaya gotong royong dan banyak lagi menjadi mandeg.
Implikasi ekonomi adalah prediksi hadirnya resesi global yang melanda dunia
dewasa ini yang oleh IMF di sebut minus. Indonesia pun akan mengalami resesi
sebagaimana negara-negara ASEAN yang hanya mencapai 2.5 % pertumbuhan ekonominya.
Karena pendefenisian new normal yang masih simpang siur, bahkan banyak
mengartikan sebagai kembali seperti biasa sebelum terjadinya pandemi global.
Memang hal ini sedikit menyesatkan kita dalam kehidupan keseharian. Lihatlah
Korea Selatan yang sempat memberlakukan new normal, namun hanya berlangsung
sehari, kemudian dibatalkan karena karena ada 36 kasus baru. Jepang juga
membatalkan new normal karena kasus baru yang bermunculan. Padahal kita tahu
betul bahwa disiplin sosial masyarakat Asia, Jepang dan Korea Selatan adalah
terbaik dibanding yang lainnya. Jepang sejak Restorasi Meiji, telah mendisain
kembali konstruksi sosial yang berdisiplin tinggi. Spirit bushido yang semulanya adalah hanya menjadi
miliki para samurai (ksatria), di ubah menjadi spirit sosial. Demikian halnya
dengan Korea Selatan, Presiden Park Chung Hee, berhasil membawa budaya kerja
keras dan disiplin sosial baru yang mengantar Korea Selatan menjadi sebuah
macan Asia terkemuka. Kekuasaan menjadi ‘main-engine’ dan lokomotif bagi perubahan sosial
untuk mencapai kemajuan sebuah bangsa dan negara. Bahwa ancaman gelombang kedua
virus corona yang tanpa gejala ini, juga melanda kembali China yang langsung
melakukan lockdown pada 20 distrik yang ada kasus baru.
Adapun new normal kita, belum menujukkan
menurunnya angka penderita yang terpapar virus covid-19 ini. Setiap hari
melonjak, karena memang selain vaksin yang benar-benar ampuh untuk melawan
corona belum diproduksi secara massal, juga disiplin sosial kita yang belum
tertata baik. Menyebabkan kita tak mampu memutuskan mata rantai penyebaran
virus ini dengan efektifnya. Dua hari berturut-turut kawasan pertambangan emas
New Halmahera Minerals (PT.NHM) milik korporasi Australia di Halmahera Utara,
ditemukan pasien positif Covid-19 yang menyebabkan kawasan pertambangan yang
mengeksploitasi alam Halmahera itu di lockdown. Saya mendapat berita, langkah
serupa dilakukan di kawasan Halmahera Tengah, dimana pertambangan nickel dengan
TKA terbesar dikawasan timur Indonesia itu, sementara dinyatakan di shutdown
juga, karena dugaan pencemaran lingkungan. Bahkan Wakil Bupati Halmahera Tengah
mengancam akan melaporkan kepada Gubernur Maluku Utara untuk membekukan operasi
tambang tersebut jika terbukti benar melakukan dekonstruksi ekologi di bumi
Halmahera. Memang ada baiknya juga membiarkan alam sedikit peluang untuk
bernapas, setelah dieksploitasi tanpa henti-hentinya bahkan merusak ekologi itu
sendiri. Kita kadang mejadi pelaku sadar atas tindakan ekosida kepada bumi
pertiwi dengan tiada ampunnya. Dalam laporan WALHI, tentang Ecocide, menyebutkan bahwa panel ahli PBB tentang
keanekaragaman hayati serta ekosistem, International
Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), meluncurkan suatu laporan yang berisi fakta-fakta kehancuran
ekosistem dunia pada saat ini, di awal bulan Mei 2019. Sebanyak satu juta
spesies telah punah dalam 50 tahun terakhir akibat aktivitas manusia. Laporan
yang disusun oleh 145 ahli dari 50 negara ini juga menyatakan 240 juta hektar
hutan alam telah hilang musnah dalam kurun waktu 1990-2015.
Sementara elit kita, masih hiruk-pikuk
dengan hadirnya rancangan undang-undang yang kontroversial, RUU HIP. Organisasi
besar seperti Muhammadiyah membentuk tim untuk mengkaji RUU tersebut. Juga NU
mengajukan protes karena tidak mencantumkan Tap MPR yang melarang ideologi
komunisme di Indonesia. Termasuk MUI yang menerbitkan Maklumat Majelis Ulama
Indonesia untuk menolak draft UU HIP tersebut dengan tanpa kompromi, bukanlah
revisi. Walau pertemuan Menkopolhukam Prof. Mahmud MD, menyatakan bahwa
pelarangan komunisme itu telah final, dalam pertemuan dengan para sesepuh
purnawirawan TNI. Karena mereka juga memprotes akan kehadiran draft
undang-undang tersebut yang dianggap mengancam ideologi bangsa Pancasila.
Memang kita dilarang melupakan sejarah, karena Pancasila pernah diperas menjadi
Trisila lalu diperas lagi menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong, oleh Bung Karno.
Juga dalam perjalanan Indonesia, komunisme telah melakukan pemberontakan, baik
pada masa Hindia Belanda, di Silungkang, Sumatera Barat pada 1926, lalu Madiun
Affairs pada 1948, dan peristiwa berdarah 1965.
Peristiwa-peristiwa ini menyisakan luka
luar biasa bagi kalangan TNI dan anak bangsa lainnya. Karena merekalah yang
berhadapan bahkan menjadi korban awal yang banyak belum diungkap sejarah secara
tuntas. Walaupun dari sisi lain, kita juga dapat menelusuri catatan banding
mereka yang dikorbankan dengan stigmatisasi komunisme seperti yang ditulis Ben
Anderson, John Roosa dan Cyntha Wirantaprawira misalnya. Hantu komunisme pun
bergentayangan di jagad kita setiap harinya. Padahal dalam catatan Salim Said,
ideologi ini hanya berumur 70 tahun. Ia runtuh karena tak mampu memberikan
jawaban atas kebutuhan kemanusiaan secara universal. Runtuh bersama bubarnya
Uni Soviet dan Pakta Warsawa tanpa satupun letusan peluru dari musuh
bebuyutannya Amerika Serikat dan negara-negara NATO. Walau diluar sana kita
bisa mencermati filsuf komunis kontemporer asal Slovenia Slavoj Zizek, yang masih yakin bahwa transisi
menuju masyarakat komunisme sedang berlangsung.
Sementara kita, dalam usia 75 tahun
kemerdekaan, kembali mengutak-atik lagi ideologi sebagai sebuah common
consensus (kalimatun
syawa), ditengah ancaman pandemi global, mungkin adalah hal yang kurang “wise” karena terkesan seperti elite kita
kurang kerjaan saja. Syukur Menkopolhukam menyampaikan bahwa perintah Presiden
Jokowi untuk menunda pembicaraan tentang RUU HIP ini. Tentu Presiden telah
mengikuti kontroversi yang menyita energi bangsa atas kemunculan rancangan
undang-undang ini.
Terlepas dari pro-kontra tersebut diatas,
jika dilihat realitas dewasa ini, Vladimir Putin, pemimpin Russia sekarang
tengah menjalin hubungan dengan negara-negara dunia yang tadinya adalah non
komunis. Ia menampilkan Russia dengan wajah baru, jauh dari doktrin Das Kapitalnya Karl Marx bahkan Leninisme. Demikian
halnya dengan China, dibawah Deng Xiao Ping, ia membawa angin baru. Deng
mengatakan: ‘’saya tak perduli kucing hitam atau putih, yang penting ia dapat
menangkap tikus.” Deng melakukan reformasi besar dengan menampilkan China dalam
wajah baru, lepas dari gaya Maoisme lama. Ia menghadirkan BRI dan OBOR yang
dapat dianggap sebagai konsep neo-kapitalisme ala China tersebut. Sebaliknya
Amerika Serikat yang selama ini, dianggap menjadi globocop atau sherrief of the world, malah terperangkap dengan isyu
domestiknya. Trump menyatakan keluar dari WHO karena menuduh WHO telah berkolaborasi
dengan China dalam soal pandemi global dewasa ini. David S. Jacoby menulis
ditangan Trump, globalisasi akan berakhir. Trump bahkan mengancam tidak
memperpanjang visa semua mahasiswa asal China yang lagi belajar di Amerika
Serikat karena ketakutan akan tindakan spionase.
Tetapi pada sisi lain, gejolak di Laut
China Selatan menunjukkan eskalasi yang cukup mengkhawatirkan. Karena Amerika
menghadirkan Armada Pasifiknya untuk berhadapan dengan Armada China yang
mengklaim kawasan Kepulauan Spratly dan Paracel sebagai wilayah tradisional
mereka. China memang menentang keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional di
Den Haag, pada 2016, yang memenangkan gugatan Filipina atas kawasan laut
tersebut. China membuat sendiri 9 garis putus-putus (Nine Dash Line) dengan mengabaikan ketentuan-ketentuan
UNCLOS, 1982 yang ditetapkan PBB tersebut. Sementara kawasan Laut China
Selatan, khususnya Kepulauan Spratly dan Paracel, diklaim juga sebagai kawasan
ZEE sesuai ketentuan UNCLOS oleh negara-negara Asia lainnya, seperti Filipina,
Brunai, Malaysia, Vietnam, Jepang dan Taiwan.
Bill Hayton mengungkapkan bahwa kawasan
tersebut memang memiliki sumber daya mineral masa depan dunia yang tak sedikit
depositnya. Hayton mengatakan reformasi ekonomi dan industri yang dilakukan
Deng, membutuhkan ‘new resources of supply.’ Pada April 1987, ilmuwan China
telah melekukan survei di Laut China Selatan dan menyatakan sumber daya mineral
dan minyak yang sangat kaya depositnya. Pada Desember 1989, China Daily melaporkan secara resmi akan hasil
kalkulasi kandungan Kepulauan Spratly sebanyak 25 bilyun kubik meter gas alam dan 105 bilyun
kubik barrel minyak pada area James Shoal dan sekitarnya yang juga mencapai 92
bilyun barrel.
Deng Xiao Ping dan pemimpin politik China,
merespon laporan ilmuan ini dengan mengagendakan secara khusus Laut China
Selatan. Atas dasar itulah China kemudian membangun pangkalan militer di
Kepulauan Spratly dengan alasan untuk keamanan teritorialnya. Tentu maksud
sebenarnya adalah mengamankan sumber daya alam masa depan dunia itu agar tetap
dalam kontrol mereka. Karena ‘natural gas and oil’ LCS tersebut tersebar hingga
pesisir Kalimantan dan Kepulauan Natuna. China pun mengklaim 3,5 juta kilometer
persegi atas laut berdasarkan “sembilan garis putus-putus” yang didasarkan atas
peta kuno China tersebut. Klaim sepihak ini, dengan sendirinya tumpang tindih
dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Vietnam dan Taiwan.
Itulah mengapa penamaan Laut Natuna Utara
oleh Presiden Jokowi langsung menuai protes dari Menteri Luar Negeri China. Dan
Kapal-kapal ikan China pun kemudian dengan sengaja masuk ke perairan Natuna
melakukan illegal fishing dengan diikawal armada China, dan
kita tak mampu berbuat banyak. Nelayan Natuna terlibat memprotes akan hal ini.
Sebenarnya Indonesia telah mengatisipasi eskalasi LCS ini dengan membangun
Natuna sejak tahun 2000-an, sebagai pangkalan militer Indonesia, walaupun dengan
target Minimum Essential
Force pada 2020.
Indonesia selama ini memang terkesan memainkan soft
balance diplomacy dalam
soal sensitif ini. Kita bisa lihat tulisan Prashanth Parameswaran; Delicate
Equilibrium: Indonesia’s Approach to the South China Sea dalam Power
Politics in Asia’s Contested Waters, Territorial Disputes in the South China
Sea (Enrico Fels
Truong-Minh Vu, Editors). Padahal pada periode menteri
kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti, ada tindakan tegas dengan
menenggelamkan tiap kapal asing yang kedapatan melakukan illegal fishing di perairan ZEE Indonesia.
Tindakan tegas ini sangat menarik karena cukup efektif memberikan efek jera,
sekaligus meningkatkan standing stock perikanan Indonesia.
Nakh, sekarang pada kawasan tersebut,
ditengah pandemi global ini, sedang berhadapan dua kekuatan armada Amerika
Serikat dan China. Negara-negara yang selama ini resah dengan klaim sepihak
China atas LCS pun berdiri dibelakang Amerika Serikat. Seperti Taiwan, Brunei,
Singapore, Malaysia, Vietnam, Filipina, Jepang dan Korea Selatan. Bahkan India
yang tidak berbatasan dengan LCS pun bergabung dengan Amerika Serikat, karena
insiden perbatasan India-China yang cukup meresahkan India. Padahal India dan
China, sebenarnya adalah dua aktor baru kebangkitan Asia Pasifik. Kishore
Mahbubani dalam The Great
Convergence: Asia, the West and the Logic of One World, menyatakan akan hal itu. Bahwa dunia tengah bergeser secara ekonomi
ke Asia Pasifik dimana India dan China akan menjadi lokomotif baru peradaban.
Demikian juga Pete Engardio, seorang penulis senior Business Week, yang
menerbitkan Chindia, How
China and India Are Revolutionizing Global Business. Ia menggambarkan perubahan-perubahan dan
lompatan-lompatan ekonomi yang demikian sukses dilakukan China dan India.
Dan itu akan merubah peta ekonomi global.
Posisi Indonesia, yang secara geografis
sebagai kawasan Pacific Rim, jelas akan kena imbas jika perebutan
hegemoni global beralih ke kawasan Laut China Selatan tersebut. Bill Hayton
mengatakan kawasan ini akan menjadi battlefield secara militer. Natuna, Kalimantan
Utara, Marore dan Miangas, Morotai hingga Biak, adalah kawasan yang berhadapan
secara geografis dengan battlefield tersebut. Karena wilayah-wilayah ini
adalah bantalan Pasifiknya Indonesia.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi APEC di
Port Moresby, Papua Nugini, pada 17-18 November 2018 lalu, kita bisa melihat
konfrontasi Amerika Serikat vs China yang mengakibatkan KTT APEC tersebut gagal
melahirkan kesepakatan finalnya. Karena terjadi perdebatan panas atas konsep
OBOR (BRI) yang dimotori China versus Indo-Pacific yang dimotori Amerika
Serikat. Kedua konsep ekonomi global tersebut berebutan menawarkan hegemoni
ekonomi dengan pola kerja sama kepada negara-negara dunia. China memanfaatkan
sejarah masa lalu, silk road, sebagai dasar pijak bahwa OBOR adalah the
modern silk road untuk
menjamin mata rantai pasar globalnya. Sedangkan bagi
Amerika, tawaran itu adalah jebakan hutang semata untuk menguasai pasar dunia
dan sumber daya energi masa depan. Jadi telah terjadi trade war antara dua kekuatan besar dunia, China dan
Amerika. Dan para ahli sepakat bahwa the end
of trade war is the beginning of military war. Dan bukan tidak mungkin bahwa seluruh aset
strategis kekuatan yang terlibat konflik, yang ada di Indonesia, akan menjadi
sasaran dalam konflik global tersebut. Foreign Affairs edisi July-Agustus 2020, menerbitkan
banyak kajian menarik dari Amy Chua, Lee Hsien Loong (PM. Singapore) dan
Francis Fukuyama, yang menyatakan bahwa Asia tengah menghadapi abad berbahaya (The
Endangered Asian Century, The World After the Pandemic).
Fukuyama seakan mengingatkan kita, bahwa
krisis besar global selalu menghadirkan konsekuensi yang besar pula. Walau hal
itu sering tak nampak. The Great
Depression mengakibatkan
bangkitnya isolasionisme, nasionalisme dan fascism yang menghantar dunia pada
Perang Dunia II. Namun pada sisi lain, telah menghadirkan kebijakan New Deal yang mengantar Amerika Serikat
menjadi superpower baru dunia. Sedangkan kasus serangan 9/11 menghasilkan
kegagalan intervensi Amerika, kebangkitan Iran dan bentuk baru radikalisme Islam. Adapun
krisis keuangan 2008, menghasilkan pemimpin yang populis sebagai anti-establishment, diseluruh dunia. Krisis pendemi global
juga akan menghadirkan tatanan baru, dimana dituntut state
capacity, social trust dan leadership. Negara-negara dengan pola
kepemimpinan yang lemah kompetensi aparaturnya, lemahnya trust warga dalam mendengarkan apa kata
pemimpinnya, akan mengalami dysfunctional
state, polarisasi sosial,
karena poor leadership (buruknya kepemimpinan), demikian
ungkap Fukuyama. Disfungsional negara adalah bentuk negara gagal. Akan
mengorbankan warganya dalam krisis besar. Daron Acemoglu dan James A. Robinson,
dalam membahas awal mula kekuasaan, kemakmuran dan kemiskinan pada bukunya:
Mengapa Negara Gagal, mengatakan bahwa kebijakan yang inklusif dibutuhkan untuk
mencegah sebuah negara menjadi negara gagal. Dan itu sangat perlu agar kita
dapat menghindari social riots dan street justice. Rakyat akan bertindak sendiri ketika
kebijakan negara tidak lagi berpihak kepada mereka. Sebutlah distribusi BLT
yang adil bagi rakyat, kebijakan physical
distancing dan new
normal pada lembaga pendidikan dasar kita, namun tidak dibarengi dengan
pelayanan jaringan internet yang memadai disaat peserta didik memasuki tahun
ajaran baru, tentu sangat mengganggu akal sehat kita. Belum lagi harga BBM yang
tak kunjung menyesuaikan dengan harga pasaran dunia, disaat RUPS Pertamina yang
menentukan jumlah komisaris yang jauh melebihi jumlah direksi sendiri. Lalu
harga listrik yang tanpa hujan tanpa angin, mendadak meninggi dalam segala
strata sosial. Sementara kebijakan new normal belum benar-benar bisa menjadi
instrument bagi recovery krisis ekonomi dan meningkatkan daya
beli masyarakat. Karena mandegnya perusahaan akibat pandemi ini, akan berdampak
langsung pada peningkatan angka pengangguran dimana-mana. Tentu atas semuanya
ini, sangat mengundang tanda tanya bagi rakyat banyak, dimanakah negara berada,
kemanakah negara berpihak. Sementara bagi negara menjadi buah simalakama,
karena kelamaan lockdown, akan melemahkan kemampuan fiskal negara. Karena
pertumbuhan ekonomi yang minus akan mempengaruhi kemampuan pajak pada sisi
lain.
Sementara disaat yang sama, kita sadari
benar bahwa bahaya pandemi global ini belum juga berakhir. Kita akan berhadapan
dengan pertarungan baru yang tak kalah berbahaya bagi peradaban manusia.
Celakanya, Indonesia seperti tidak menyadari benar apa yang terjadi disebelah
di tetangga kita, karena masih asyik dengan syahwat politik elite bahkan
merencanakan pilkada serentak ditengah pandemi yang entah kapan bisa berakhir.
Padahal seharusnya dengan pandemi ini, kita menghadapi perubahan dimana
legitimasi politik kekuasaan, tidak lagi berbasis pada kontestasi politik
semata, namun membutuhkan kompetensi teknikal dan carrying
capacity negara atas
apa yang kita hadapi sekarang secara global. Momentum kontestasi politik akan
menyita sedemikian besar energi bangsa. Sementara kita belum terlepas dari
pandemi global. Harusnya kepada para intelektual diberi ruang yang lebih untuk
mengatasi pandemi Covid-19 yang semakin multidimensional implikasinya. Karena
pandemi ini tidak akan selesai dengan kekuasaan dan hegemoni politik. Kita
harus mengembalikan prinsip knowledge is
power.
Oude Batavia, 16 Juni 2020.
Penulis : Syaiful Bahri Ruray