Masril Karim (Pegiat Toadore Studies) |
Pada
bulan Maret lalu, majalah tempo menerbitkan edisinya tentang kisruh proyek
Menteri Agus. Tempo menulis, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto digugat ke
polisi dengan tuduhan menipu dan menggelapkan uang perusahaan. Pengusaha
properti ini pernah berkongsi dengan Pramono Anung (kini Menteri Sekertaris Kabinet) mengerjakan proyek pengerukan dan
pengapalan biji nikel dari PT Aneka Tambang Tbk pada 2001-2014. Saling gugat
mantan kolega bisnis itu menguak dugaan penggelembungan nilai proyek dengan
keuntungan fantastis hingga Rp 2,9 triliun. Proyek itu juga meninggalkan
kerusakan lingkuangan yang massif di Tanjung Buli, Halmahera Timur, Maluku
Utara (lihat Tempo 28 Maret 2020).
Apa
yang ditulis oleh majalah Tempo itu merupakan sebuah potret buram atas masalah pertamabangan
yang terjadi di Maluku Utara, terutama di daratan Halamahera. Jika Anda ke
Halamahera Timur, Anda akan melihat tanah-tanah digusur, mobil-mobil proyek
pertambangan sedang mondar-mandir dan hutan-hutan digunduli, semua itu
dilaksanakan atas nama pertambangan, sialnya, tambang-tambang tersebut adalah
milik para politisi dan para bosisme yang berjejaring dengan melibatkan
aktor-aktor lokal hingga ke pusat.
Oligarki
pertambangan semakin subur setelah reformasi, jika pada orde baru oligarki
bertumpuk pada kekuasaan Presiden Soeharto, artinya tidak ada oligarki lain
muncul jika tidak mendapatkan persetujuan dari Presiden Soeharto, model itu
oleh Profesor di Northwestern University, Jeffrey A.Winters sebut sebagai Oligarki Sultanistik. Setelah Soharto
jatuh dari kekuasaanya selama 32 tahun model kekuasan berubah dari
otoritarianisme ke demokrasi. Dan model oligarkipun berubah dari Sultanistik ke
model baru yang juga oleh Winters sebut sebagai Oligarki Sipil. Orang menandai
kejatuhan Soeharto itu dengan sebutan reformasi. Reformasi hadir dengan
mengedepankan semangat demokratisasi dan otonomisasi sebagai penanda bahwa
telah muncul era baru di Indonesia yang memberikan kebebasan dan keleluasaan
kepada daerah untuk mengatur diri sendiri (OTDA). Itulah model baru dalam era
reformasi yang bertujuan untuk kesejaterhaan rakyatnya.
Tetapi
sayang harapan berubah, reformasi akhirnya melahirkan ketimpangan antara pusat
dan daerah, banyak melahirkan kesenjangan, bahkan ada yang tertinggal seperti
Taliabu (Malut), Nias Utara (Sumut), Sumba Barat (NTT), Nabire dan daerah lain (lihat litbang Kompas, Senin, 1 Juni 2020),
daerah akhirnya menjadi tempat bisnis bagi politisi pusat dan politisi lokal
yang melibatkan para oligarki sebagai pendukung untuk memberikan sumber pendanaan
saat maju sebagai calon Gubernur/Bupati/Walikota, selain pendanaan juga sebagai
garantor (lobi-lobi) rekomendasi partai politik dengan kompensasi lahan
pertambangan, karena partai politik juga oligarki dan mendapatkan rekomendasi
mudah jika menggunakan jalur oligarki asal mendapatkan lahan pertambangan.
Para
penguasa (politisi) lokal akhirnya menjadi pelayan bagi oligarki bukan untuk
rakyat di daerahnya. Padahal Kepala daerah sebagai pemimpin tertinggi di
daerah, sangatlah berperan penting dalam proses kehidupan dalam masyarakat.
Peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan yang di putuskan haruslah
berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk melaksanakan
dan menjalankan program-program yang telah ditetapkan dalam peraturan atau
kebijakan. Bukan untuk melindungi oligarki.
Karena
pelayanan pada oligarki akhirnya melahirkan praktek shadow state. Soal shadow
state disampaikan oleh Willian Reno
(1995) atau lebih kongkrit Pemerintahan Bayangan biasanya akan hadir, tumbuh
dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintahan
formal. Penyebabnya antara lain karena para elite penyelenggara pemerintah
formal mengalami ketidakberdayaan kala berhadapan dengan kekuatan-kekatan
sosial, ekonomi dan politik yang dominan berada diluar struktur pemerintahan
formal. Konsekuensi adanya praktik shadow state ialah penyelenggaraan
pemerintahan akan lebih banyak dikendalikan oleh otoritas diluar struktur
pemerintahan dari pada otoritas formal dalam struktur pemerintahan (lihat Ismiati Nur Istiqomah, Shadow State,
Bureaucracy, Informal Government).
Awal
berkembangnya konsep shadow state memang hanya menyajikan mengenai fenomena
ditingkat nasional. Meski demikian, kendati masih prematur Syarif Hidayat pada
tahun 2002, telah mencoba melakukan investigasi tentang karakteristik dari
Bisnis dan Politik di tingkat pemerintahan daerah. Berdasarkan hasil
penelitiannya, yang dilakukan di Jawa Barat (Bandung Utara) menyebutkan pada
tingkat realitas kebijakan otonomi daerah telah membuka peluang bagi perjuangan
kepentingan individu elite penyelenggara pemerintahan daerah. Temuan ini,
mengindikasikan sedikitnya ada tiga bentuk kepentingan individu elit pemerintah
daerah, yaitu, kepentingan ekonomi (seeking economic ends), kepentingan
untuk pengembangan karir (career
advancement), dan kepentingan untuk sponsor politik (political sponsorship).
(lihat
Syarif Hidayat, Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal).
Itulah
mengapa dalam proses pengambilan kebijakan oleh kepala daerah (elit/politis)
selalu melahirkan kebijakan yang oleh Daron Acemoglu dan James A, Robinson
menyebutnya sebagai kebijakan yang ekstraktif. Kebijakan ekstraktif ini adalah
kebijakan yang keluarkan oleh para elit penguasa bukan untuk melindungi
(mensejahterakan) masyarakatnya, tetapi untuk melindungi dan menguntungkan
bisnis pribadi atau keluarga dan menghidupi kelompok-kelompoknya. Jika
ekstraktif politik terjadi maka akan muncul juga ekstraktif ekonomi, dan bila
itu terjadi maka akan melahirkan kegagalan negara atau dalam tingkat lokal
adalah daerah.
Lahan-lahan
pertambangan yang berada di Halmahera terutama Halmahera Timur adalah bukti
lahirnya kebijakan yang ekstraktif. Lahan pertamabangan itu harus dilihat
sebagai ancaman untuk daerah bukan sebagai peluang, lahan pertambangan yang
hadir itu seakan-akan membicarakan kesejahteraan rakyat tetapi yang terjadi
justeru meninggalkan ancaman lingkungan yang akan menyebabkan kematian manusia,
atau dalam istilah Elizabet Kolbert
sebagai kepunahan ke enam (the sixth
extinction) yang ditandai dengan kematian Sapiens.
Di
hari ulang tahun Halmahera Timur yang ke 17, harusnya kita merefleksikan dan
membicarakan serius soal visi “Kenapa mesti Halmahera Timur hadir?” dan
akhirnya melahirkan kebijakan yang ekstraktif untuk oligarki pertambangan dan seakan
membiarkan daerah ini runtuh diatas lahan-lahan pertambangan. Karena itu saya
menganggap 17 tahun Halmahera Timur adalah 17 Halmahera Timur yang ekstraktif.
Penulis ; Masril Karim