Foto Istimewa Penulis : Dr Saiful Bahri Ruray S.H.,M.Si |
Dalam agama disebutkan seorang anak Adam terlahir suci bagaikan kertas putih, orang tualah yang akan memberi warna anak itu seperti apa, entah ia Majuzi atau Zoroaster, Nasrani atau Yahudi sekalipun. Filsuf John Locke menyebutkan dalam teori tabularasa bahkan dimensi sosial akan memberi warna terhadap karakter seorang manusia. Dari situlah human value berkembang menjadi platform karakter hingga kita utuh disebut sebagai manusia sesungguhnya.
Human value yang penting dan prinsip adalah sifat amanah. Sifat tersebut adalah salah satu dari ke-empat sifat profetik yang wajib dimiliki oleh para nabi [ tabligh, fathonah, siddiq dan amanah]. Kita tentu tidak bisa menyamai sifat para nabi 100 % karena para nabi adalah manusia terpilih yang khusus diutus Allah untuk membawa ketertiban etika dan moralitas sosial.
Sebagai manusia biasa yang bukan nabi, kita juga dituntut etik dan moralitas sosial untuk dijadikan platform dalam pergaulan demi kebersamaan manusia dimana-mana. Setiap kelompok sosial memiliki etikanya sendiri sesuai tradisi dan consensus yang dibentuk untuk itu. Hal itu prinsip agar sesama anggota kelompok tidak saling menerkam satu sama lainnya. Maklum saja, filsuf Thomas Hobbes menggambarkan sifat asli manusia sebagai homo homini lupus, bellum omnium contra omnes. Manusia adalah serigala bagi yang lainnya. Tentu saja gambaran metaforik Thomas Hobbes itu ada dasarnya. Karenanya tanpa amanah sebagai human value terpenting, manusia sesungguhnya hanyalah seekor serigala rendah yang siap menerkam yang lainnya.
Amanah sendiri secara semantik, berasal dari kata Arab, yang sama kata dasarnya dengan amin (benar) dan aman. Juga dari kata yang sama akan terbentuk kata iman [kepercayaan]. Maka amanah terkait maknanya dengan iman, amin dan aman. Dan lawan kata dari amanah adalah khianat. Terhadap tindakan yang tidak amanah, adalah khianat, dan agama menempatkannya sebagai pertanda kemunafikan yang nyata. Mereka yang menyelewengkan kepercayaan yang diemban, yang diberikan, yang dideliver berdasarkan konsensus bersama. Dalam teori kontrak sosialnya pemikir Jean Jacques Rousseau, juga dikenal common consensus sebagai sebuah volonte generale, untuk membentuk sebuah volonte special. Dari situlah awal terbentuk organisasi negara. Jika dalam soal Pangiang, volonte generalnya adalah kesepakatan bersama [common consensus] atau dalam Bahasa lain dapat disebut kalimatun syawa, dibentuk untuk melahirkan generasi terdidik sebagai social capital dan human capital agar kompleksitas masa depan yang penuh disrupsi yang ditandai dengan era post-truth sekarang, dapat di lewati dengan human capital yang tidak terkooptasi dalam badai besar perubahan zaman tersebut. Maka pengkhianatan atas volonte general, entah dengan alasan apapun, adalah sebuah disrupsi itu sendiri. Artinya khianat adalah disrupsi.
Karenanya, khianat bukanlah sebuah disrupsi biasa, sebab merusaknya, berimplikasi langsung pada hancurnya iman, dan sekaligus merusak rasa aman itu sendiri. Terhadap hal itu, para ilmuan sosiologi menyebutnya dengan kata ‘trust’ dan ‘dis-turst’ untuk sekadar eufemisme belaka. Francis Fukuyama bahkan menyebut trust adalah basis dari human nature dan reconstitution of social order. Bahwa masyarakat modern itu mutlak berbasis pada trust alias amanah. Tertib sosial dapat tercipta dengan berbasis pada trust atau amanah tersebut. Sebaliknya, merusak amanah [dis-trust], mengakibatkan social dis-order. Dan rusaknya peradaban dimana-mana, berawal dari dis-trust dan menyebabkan hancurnya tertib sosial. Konflik pun bermula dari situ, dalam skala apapun.
Dalam konteks trust tersebutlah Pangiang hadir untuk menguji, menyeleksi, seberapa besar keluarga besar ini memiliki karakter profetik yang sangat prinsip yakni amanah dan tidak. Dengan kata lain, Pangiang hadir bukan sebagai sebuah ruang kosong dan hampa makna, tak memiliki human value yang di embannya. Ada human value (nilai kemanusiaan) mendasar didalamnya yakni amanah. Jika makna profetik atau makna nubuat dalam bahasa yang lebih relijius itu di-ingkari, maka implikasinya adalah merusak iman, karena menghancurkan rasa aman kelompok bersama. Dan itu tidak dapat di aminkan begitu saja. Yang merusak amanah ini, bisa jadi karena ulah sang penumpang gelap ataulah kita yang tak sampai meneruskan niat baik, karena kikir jiwa dan narrow minded lainnya yang menggelapkan sang amanah ditengah perjalanan menuju cita.
Sekali lagi amanah semakna dengan iman, aman dan amin. Tanpa amanah, kita tidak beriman, tanpa iman kita tidaklah aman. Tanpa rasa aman kita tidak berakhir dengan kata amin. Itulah mengapa tarikh Nabi, sejak kecil diberi Al-Amin, karena kejujurannya terpelihara. Al-Amin itulah menjadi karakter dasar hingga datang masa kenabian dengan turunnya Al-Iqra di Gua Hira pada 17 Ramadhan. Bangsa ini ada, adalah juga pengejawantahan dari amanah besar. Jika amanah kecil kita selewengkan, maka yang besarpun akan terlewatkan. Tanpa terasa, bahwa melangkahi amanah dalam soal Pangiang, sesungguhnya adalah bagian dari perusakan karakter human value yang prinsipil. Artinya kita memilih melepas kodrati kita sebagai seorang manusia. Lalu mahluk apakah kita?
Ditengah perayaan volonte general pemuda Indonesia, yakni merayakan Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2019, semoga saja kita tidak merubah diri kita menjadi Sampah Pemoeda. Entah karena kesengajaan menghambat menciptakan generasi terbaik bagi bangsa kedepan dalam cita-cita Pangiang. Memang dis-trust alias tidak amanah adalah sampah. Jika tidak diatasi, ia akan mengkontaminasi ruang publik dan kehidupan kita, menjadi sumber penyakit dan bau busuknya dapat menyebar kemana-mana angin bertiup. Sebaliknya, amanah adalah mutiara, bahkan berlian, sekecil apapun ia, tetap akan berharga dan menyinari human value sang pengembannya secara benar.
Wallahu a’lam bis sawab.
28 Oktober 2019.