Dr. Syaiful Bahri Ruray, Anggota DPR RI |
Alangkah menggugah hati saya membaca postingan tentang Kampung Papua di Gambesi yang digagas Mukhtar Adam. Bahkan diajukan untuk menjadi icon pariwisata Ternate. Pada hemat saya, Mukhtar Adam seakan mencoba menjadi guru bangsa di sudut kecil sebuah peradaban besar.
Karena isu Melanesia di mana Papua inklusif di dalamnya, telah menjadi isu regional Pasiflk Selatan dan mendunia. Tercatat dari New York, London hingga terakhir di Melbourne isu ini mengemuka. Jika Indonesia gagal merespons secara baik, bukan tidak mungkin isu Melanesia akan menjadi batu sandungan bagi Indonesia diberbagai fora internasional.
Papua jika tidak dikelola dengan baik, jelas menghadirkan isu separatisme, human rights, dan investasi asing yang meminggirkan hak-hak kultural masyarakat adat setempat. Isu mana belum terselesaikan dengan baik dan memuaskan bagi para pihak dalam konteks Papua. Bahwa isu Papua. Dikemas dengan bungkus Melanesia, telah menggelinding menjadi isu internasional dewasa ini tanpa kita sadari dengan baik bagaimana menghadapinya.
Andre Vltchek (Indonesia Archipelago of Fear, 2012 ) memberi catatan khusus tentang genosida Papua dan aksi pro Papua di Oxford, London dan lstana di Jakarta pada 2011. Tampilnya Dubes Vanuatu dan Solomon dalam sidang PBB di New York juga mempersoalkan hal yang sama walaupun ditepis langsung oleh diplomat muda Indonesia dengan menggunakan metafora pantun Melayu ”telunjuk Iurus kelingking berkait” untuk membantah Vanuatu dan Solomon tersebut. Sayangnya solusi kultural sebagai kekayaan dan kearifan kita di nusantara sering tidak dipahami oleh politik kekuasaan.
[cut]
Saya mencoba membaca nurani Mukhtar Adam, sang penggagas kampung Melanesia di Ternate ini, seakan menjawab kegelisahan saudara-saudara kita di Papua terhadap soal eksistensi mereka dalam NKRI. Bagi setiap warga Maluku Utara. bahwa Papua sejarah historis dan kultural terkait dengan kita, bukanlah soal baru. Hampir pada setiap sudut Maluku Utara terdapat perkampungan Papua dari Morotai, Jailolo hingga Tidore.
Kehadiran ini memang sangat terkait dengan peranan kesultanan Tidore yang mengklaim Papua sebagai bagian dari wilayah Tidore. Bahkan sejak pembahasan BPUPKI, yang dipimpin dr. Radjiman Widyodiningrat, Papua telah ikut dibahas antara Bung Hatta yang melakukan pendekatan antropologis dan Soekarno, M. Yamin, Agus Salim yang menggunakan sejarah sebagai dasar pembentukan teritorial NKRI (lihat: Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1045-22 Agustus 1945. Terbitan Sekretariat Negara, jakarta, 1992).
Bahkan jauh sebelum klaim Tidore, sejarawan A.B.Lapian telah mencatat mitologi Moloku Kie Raha di mana Bacan memiliki relasi genealogis langsung dengan Papua, khususnya Raja Ampat (Adrian B. Lapian: For Better or Worst, Collected Essays on lndonesian-Dutch Encounters, 2010). Papua menjadi isu internasional pun dapat ditelusuri dari Konferensi Meja Bundar, Den Haag, 27 Desember 1949 di mana Ratu Juliana-Moh. Hatta mencapai kesepakatan atas Dengakuan kedaulatan Indonesia. Sayangnya pasal tentang Papua kemudian dikhianati Belanda karena menolak melaksanakan isi KMB tersebut.
Soekarno pun mempersiapkan langkah militer, dengan mencetuskan TRIKORA (Tri Komando Raktat) di alun-alun Istana Jogjakarta pada 1961. Maluku Utara pun menjadi ajang terdepan operasi Trikora ini. Bahkan sejak 1957, DPRD Peralihan Maluku Utara telah menerbitkan ’Resolusi DPRD Maluku Utara’ yang isinya memperjuangkan Irian Barat untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
[cut]
Soekarno mengunjungi Tidore berkali-kali untuk memantapkan sikapnya atas Papua. Diplomasi dan langkah militer berpadu, Soekarno mengutus A.H. Nasution ke Moskow untuk negosiasi peralatan militer bagi operasi Trikora. Di Maluku Utara sejak 1957, telah membentuk sukarelawan untuk menuju Irian Barat.
Pada sadarnya rakyat Maluku Utara lebih memahami soal Papua sebagai bagian integral dari keluarga bangsa. Suasana batin kita secara kultural pun bergolak ketika Belanda mengirim Kapal Perang Karel Doorman ke Irian Barat. Teluk Kupa-kupa, Tobelo pun di sulap menjadi pangkalan operasi kapal selam TNI-AL yang pertama kali dalam sejarah militer Indonesia. Dari sinilah korps ‘hiu-kencana’ sebagai simbol korps kapal selam dibentuk. Operasi Jayawijaya I dan 11 di gelar.
lnfiltrasi dipimpin Lettu RPKAD Dolf Latumahina tercatat berhasil dilakukan melalui operasi kapal selam ini dari Kupa-kupa ke Teluk Cendrawasih. Morotai pun menjadi pangkalan pesawat pembom mutakhir MIG 17 dan Antonov. Tercata Komodor Leo Wattimena sebagai komandan wing udara Operasi Trikora.
Indonesia berkembang menjadi negara ke 5 di dunia yang memiliki perangkat militer canggih. Dari Vladivostok, Russia, diluncurkan kapal perang KRIIrian menuju Surabaya. Inilah kapal perang tercanggih pada zamannya.
[cut]
Melihat perkembangan tersebut, Presiden John F. Kennedy pun mendesak Belanda segera angkat kaki dari Irian Barat' Dikirim Elsworth Bunker menjadi negosiator. Putra Maluku Utara, Djafar Basri Albaar, seorang mahasiswa ITB dan perwira muda TNI-AL pun ikut dikirim Soekarno belajar ke Fakultas Teknik, Moskow untuk menjadi ahli senjata elektronik untuk perebutan lrian Barat. Beliau terakhir pensiun sebagai laksamana muda dan menjabat sebagai rektor UPN Jakarta.
Kerabat Sultan Tidore, pemuda Ahmad Kahar, memimpin sukarelawan menyusup ke Irian Barat. Bahkan mereka yang sempat ditawan, dimediasi oleh Palang Merah lnternasional dalam pertukaran tawanan di Singapore di bawah pengawasan PBB. Adapun John F. Kennedy percaya pada teori domino yang diajukan Allen Foster Dulles, Direktur CIA, bahwa Indonesia akan menjadi Vietnam kedua jika Belanda tidak diusir dari Irian Barat.
Elsworth Bunker pun berhasil mendesak PBB untuk melakukan Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 (lihat: John Saltford; The United Nations and The Indonesian Takeover of West Papua,1 962-1 969. TheAnatomy of Betrayal). UNTEA akhirnya menjadi pemerintahan peralihan di lrian Barat.
Soekarno pun mengajukan Zainal Abidin Syah, Sultan Tidore, sebagai Gubernur Irian Barat dan Tidore sebagai ibukota sementara saat Operasi Trikora dikumandangkan. Sungguh sebuah pendekatan kultural yang berbasis sejarah yang kuat dalam benak seorang Bung Karno. Tidaklah sia-sia Bung Karno saat berkunjung ke Tidore dan Ternate, berjam-jam melakukan pembicaraan dengan Sultan.
[cut]
Bagaikan seorang Douglas MacArthur yang mendarat di Morotai dengan menggenggam lnjil dan buku antropolog Ruth Benedict; The Clysanthemum and The Sword, untuk memahami karakter dan kultur musuhnya, Jepang. Ransel sang jenderal berisi 2 buku, bukan peluru. Menaklukan musuh sesungguhnya bukan karena desingan peluru, namun karakter. Bahwa di mata peradaban, pengiriman misionaris Kristen ke Papua oleh Sultan Tidore sesungguhnya adalah persitiwa 'altruisme’ pertama di nusantara.
Maknanya melampaui kata 'toleransi’ yang kini menjadi persoalan di benak elite Jakarta akhIr-akhirini. Dari catatan Prof. Darwis Khudori, guru besar pada Universitas Le Havre, Paris, barulah terbuka mata saya bahwa Papua adalah awal peradaban nusantara. Teori migrasi I dan II yang menelusuri DNA manusia membuktikan Afrika Utara sebagai asal usul nenek moyang umat manusia.
Saya pun mencoba mengkaitkan dengan Stephen Oppenheimer dan Arysio Santos tentang benua Atlantik yang hilang mungkinkah jawaban sejarah peradaban itu diawali dari Papua? Bukankah Jayapura wall (tembok Jayapura) di laut Papua menghadap Pasiflk, hingga kini belum terjawab secara arkeologis. Karena Santos menyebut Sunda land (tataran sunda) sebagai pusat peradaban itu semakin ke timur? Membangun honai (rumah adat) sebagai simbol kampung Melanesia di Gambesi, adalah sepotong jawaban dalam merangkai peradaban nusantara yang kini kian terputus dengan menguatnya politik identitas di pusat kekuasaan. Dan Mukhtar Adam, cendikiawan muda ini menjadi sosok guru bangsa dari timur.
Karena negara tanpa pembelajaran, hanyalah menjadi negara gagal. Gagasan kampung Melanesia di Gambesi, akan merawat integritas NKRI. Mukhtar Adam bagaikan menitip pesan "mari merawat NKRI dari ujung timur.” Meneruskanearifan Sultan Tidore dan ketegasan Bung Karno
Penulis : Dr. Syaiful Bahri Ruray