Indra Talib |
Penulis : Steven Levitsky dan Daniel Ziblat
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama-2019
Ketebalan : 272 hal
Buku ini diawali dengan pertanyaan, apakah demokrasi kita dalam bahaya? Pertanyaan itu diajukan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, untuk menggugah keadaan demokrasi Amerika Serikat pasca terpilihnya Donald Trump sebagai presiden pada pemilu 2016. Dua kolega yang bekerja sama hampir 15 tahun itu meneliti, berpikir dan mendalami mengenai kegagalan demokrasi di tempat lain, dari Kegelapan Eropa 1930, hingga Amerika Latin yang otoriter pada 1970-an. Sembari menyakini bahwa keadaan di Amerika tak seburuk itu.
Konstitusi AS sebagai landasan kebebasan dan
kesetaraan, kelas menengah yang kuat, tingginya tingkat kekayaan dan pendididikan, serta menjamurnya beragam sektor swasta mestinya mampu melindungi agar Amerika tidak tergelincir pada jurang kehancurkan demokrasi seperti yang dialami negara lain. Namun kemapanan itu tak mampu menghalangi kalangan demagog esktrimis berkuasa di Amerika. Trump and the geng adalah figur yang diasosikan oleh buku ini sebagai kalangan demagog ekstrimis itu.
Why? Mengapa Amerika yang betapapun kelas menengahnya kuat dan rasional tapi tak mampu menjadi penyaring yang ketat agar Trump tidak terpilih pada pemilu 2016 lalu?
Steven dan Daniel mengajukan jawaban dengan merujuk pada anekdot sebuah dongeng, pertengkaran antara kuda dan seekor rusa. (Kuda mendatangi pemburu untuk meminta bantuan mengalahkan rusa. Pemburu setuju dan berkata, “oke aku bantu kamu mengalahkan rusa, asalkan kamu izinkan aku memasang sepatu besi di antara jarimu dan aku akan mengendalikanmu dengan tali kekang dan pelana yang ditaruh di punggungmu, agar aku bisa memandumu mengejar musuh.” Kuda setuju dengan semua permintaan pemburu dan rusa pun akhirnya dikalahkan. Kuda meminta pemburu untuk melepas semua yang telah dipasang di tubuhnya, tapi si pemburu bilang, “ jangan buru-buru kawan. Aku sekarang sudah mengedalikanmu dan lebih suka memertahankanmu seperti sekarang.”
Tidak semua demagog-ekstrimis bisa dikenali tanda-tandanya sejak awal. Mereka tidak menunjukan keseluruhan watak otoriterianisme sebelum berkuasa, kemudian mencampakanya melalui proses legal-formal. Pada matra ini, Steven dan Daniel kemudian mengkritisi partai politik, yang disebutnya sebagai gerbang demokrasi Amerika tak becus memainkan peranannya sebagai filterisasi politik. Elite partai politik tidak mampu mejalankan fungsi alarm untuk mengidentifkasi dan menyaring watak demagog dan berupaya menghalangi mereka mencalonkan diri. Seorang politisi tanpa jejak rekam yang jelas sangat berbahaya ketika memegang jabatan dan kekuasaan.
Untuk mengidentifikasi itu, Steven dan Daniel merujuk pada ahli ilmu politik terkemuka, Juan Linz. Merumuskan empat tanda untuk mengenali watak elite demagog ekstrimis. 1), komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi. 2), penolakan atas legitimasi lawan. 3), toleransi dan mobilisasi kekerasan. 4), membatasi kebebasan sipil/lawan dan mengekang kebebasan media. Menurut analisis mereka, Trump adalah presiden Amerika yang berwatak demagog ektrimis karna memenuhi seluruh kriteria tersebut. Dan itu mengancam demokrasi Amerika. (Lihat Bab 3, hal 49-50).
Cara demokrasi mati dewasa ini tidak lagi dalam bentuk kudeta militer. Kediktatoran yang dibungkus dengan fasisme, perang ideologi dan kekuasaan sudah jarang terjadi. Nyaris hampir semua negara di dunia sudah menerapkan sistem pemilu secara reguler. Mereka memperkuat sistem konstitusionalisme dengan cara mengkonsolidasi kelembagaan demokrasi. Tapi sebagian demokrasi hancur justru dari pemerintahan hasil pemilu itu. Hal ini berbeda dengan dekade sebelumnya, kelompok oligarkis dan otoritarian melancarkan aksi meraih kekuasaan dengan cara militeristik melalui mobilisasi kekerasaan. Jika dekade sebelumnya sejumlah jenderal menuju kekuasaan melalui jalan penyanderaan dan senjata. Dewasa ini, justru berderat sejumlah kalangan demagog ekstrimis yang masuk melalui jalan pemilu yang legal.
Dalam konteks sejarah politik Indonesia. Hal serupa bisa kita pelajari pada zaman orda baru dan membadingkannya dengan era reformasi. Pada era orde baru, proses otoriterianisme itu dilanggengkan melalui proses politik kekuasaan dan abai pada proses legal-formal. Dengan memerhatikan cara kerja rezim menahan sejumlah tokoh tanpa proses pengadilan yang jelas, menuduh kelompok lain dengan lebel “kiri” dan “kanan”, pemberedalan sejumlah pers, dan ancaman kebebasan sipil. Pada era reformasi proses otoriterianisme itu justru menggunakan cara-cara legal formal. Misalnya, pembubaran Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Perpu. Dan kecenderungan elite politik kekuasaan menggunakan alat-alat negara seperti penegak hukum untuk melibas rival politiknya. Namun, untuk kasus indonesia, buku ini tidak membahasnya.
Yang dibutuhkan ditengah gejala meruncingnya pertarungan politik desertai banjir isu yang sedemikian deras. Menurut Steven dan Daniel adalah sikap toleransi (mutual toleration) dan kesabaran institusional (institutional forbearance) sebagai kerangka etis pengawasan dan perimbangan untuk meredam polarisasi politik yang mengancam kehidupan bersama. Para elite parpol harus saling toleransi dan menahan diri terhadap rayuan kelompok demagog ekstrimis agar tidak terjerembap dalam kubangan kehancuran bersama. Tanpa kedua norma itu, keseimbangan kekuasaan akan sukar dipertahankan. Ketika polarisasi kebencian mengalahkan komitmen terhadap konstitusi, maka resikonya main kasar konstitusional untuk meraih dukungan rakyat tak terelakan. Dan mandat rakyat itu ada di dalam kotak suara. Dari sanalah kelompok demagog itu berkuasa.
Buku ini memuat pelajaran penting dari proses menurunnya kualitas demokrasi di Amerika. Kemudian membandingkan dengan proses jatuhnya demokrasi di beberapa negara lainnya, dan studi terhadap beberapa negara yang mampu keluar dari situasi kedaruratan demokrasi. Maka bacalah! Sembari membaca indonesia dengan segala keruwetan sistem politik yang menyertainya.
Peresensi : Indra Talip