Haryanto; Tukang bekeng Kopi |
Pagi sekira jam 9, sebuah kedai kopi kecil yang terletak di bilangan Jl. W.R Supratman baru saja buka dan menjalankan rutinas harian seperti biasanya. Diwarnai dengan lalu lalang kendaraan yang melintasi bilangan jalan tersebut, entah beraktivitas untuk mengantar anak ke sekolah atu ke kantor. Kedai kopi ini diapit oleh 2 sekolah menengah pertama dan 3 sekolah menengah atas serta 3 kantor pemerintahan, tentu kesibukan aktivitas lalulintas di pagi hari turut terasa.
Ting...Tong....Nada notifikasi whatsapp Handphone Donny berbunyi.
Segera Donny mengambil Handphone dan membuka whatsapp, pesan WA masuk dari Harry, “Otw Shaad, ketemu di TKP, Bro”...kalimat yang tertera di pesan WA...dengan segera Donny membalas pesan WA tersebut. “Ok, Bro...menuju TKP”...sambil menenteng buku baru karya Edward Aspinall dan Ward Barenschoot yang berjudul “Democrasy for Sale”, Donny pun memesan Ojek Online untuk ditumpanginya menuju Shaad.
Assalamualaikum Brader,.....seru Harry saat tiba di kedai kopi
Shaad,...”apa kabar, hari ini?” sapa Harry kepada Jimmy sang Barista atau lebih suka dia di panggil Tukang Bekeng Kopi yang lagi asyik baca buku Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.
Waalaikum salam,..Harry....Luar biasa kabar hari ini. Sambil bersalaman,
Jimmy menunjukkan buku yang dibacanya, Arok Dedes...
“Woi,...buku Kiri....:” seru Harry sambil tersenyum.
“Har,...buku kiri itu terminolginya kekuasaan”,..kiri kan identik dengan perlawanan bro...timpal Jimmy dengan tersenyum pula.
“Siyaaap, bro. Sepakat” seru Harry, sambil memesan kopi andalannya “Kopi tubruk Shaad satu bro”....
“Ok, Bro...laksanakan dengan saksama”...balas Jimmy dengan tak kalah semangatnya.
Sambil menunggu kopi tubruk ala Shaad, Harry berjalan menuju meja Barista, dan mulai memilih buku apa yang mau dibacanya sambil menyeruput kopi.
Kedai kopi Shaad, sedikit unik karena menggabungkan kedai kopi dengan literasi serta fotografi, hal ini terlihat di dinding bagian barat kedai kopi shaad, terpampang karya-karya fotografi dari komunitas fotografi yang sering dan menjadikan shaad sebagai basecamp komunitasnya untuk merancang dan berdiskusi hal-ihwal menyangkut fotografi dan bertransaksi gagasan untuk membuat sebuah kegiatan kreatif.
Selain kelompok fotografi, kelompok penikmat buku dan penikmat kopi menjadikan shaad sebagai basecampnya untuk lagi-lagi ngerumpi sekalian bual-bual bermanfaat untuk kemaslahatan umum. Terkadang bual-bual itu menghasilkan ide brilian tanpa sengaja karena sering berdebat, terkadang “panas”
tapi masih pada koridor standar etika berdiskusi yang telah menjadi kesepakatan bersama para “pengembara” intelektual di kedai kopi itu.
“Assalamu alalikum, selamat pagi, good morning everybody”....suara khas
Donny menggelegar di ruangan kecil kedai kopi.
“Waalaikum salam, Bro....ahlan wa sahlan”...balas Harry dengan tak kalah
semangatnya. Sambil bersalaman dan mempersilahkan Donny duduk semeja dengannya.
“Brader, Jim,....apa kabar?...sapa Harry dengan semangat.
“Alhamdulillah,Luar biasa baik, brader”, mo pesan kopi apa? Tanya Jimmy kepada Donny.
“Biasa....Bro,”,...Kopi Susu”. Maklum aku kan senang yang manis-
manis...balas Donny, tak kalah semangatnya sambil membuka tasnya dan mengambil buku “Democrasy for Sale”nya Edward Aspinall, sambil menunjukkan kepada Harry, sambil berkata “ Buku hebat bro...”
“Walah....buku baru bro?”...Liat dari judulnya sangat provokatif nich...
“Betul,..baru saja diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia”... Isinya sangat menarik dan betul-betul sebuah riset yang serius menyangkut demokrasi di Indonesia. Temuan-temuan persoalan demokrasi (terlebih pemilu) terhampar di seantero nusantara. Menurut kabar, riset ini dilakukan kurang lebih 5 tahun bro, dan dibukukan setelah 2 tahun.
“Kopi Tubruk, Kopi Susu”..Silahkan dinikmati Brader...kata Jimmy sembari meletakkan pesanan kopi di tempatnya masing-masing.
“Terima kasih, brader”...seru Harry dan Donny secara bersamaan. “Terima kasih kembali, brader,...silahkan lanjutkan diskusinya” Jawab
Jimmy dengan antusias dan kembali ke belakang meja Barista, sambil mencuci dripper kopi yang sudah digunakan menyeduh kopi.
Shaad adalah sebuah kedai kopi kecil bahkan menurut Jimmy pemilik, Barista sekaligus pelayan, shaad adalah kedai kopi super minimalis. Hanya mempunyai delapan meja seukuran 60 cm x 60 cm dengan bangku kecil ukuran 30 cm x 25 cm sebanyak 32 buah, di tambah sebuah bale-bale bambu yang berada tepat di teras depan kedai kopi dengan pemandangan lalu lalang kendaraan yang melewati bilangan Jl. W.R Supratman.
Selain itu, daya tarik kedai kopi ini –bagi para penikmat buku--, karena Shaad mempunyai koleksi buku yang berjumlah kurang lebih seratusan judul, yang menempati sebuah rak kecil berukuran lebar 90 cm x tinggi 30 cm, berjejar buku Karya Pramoedya Ananta Toer, Hamka, Soekarno, Eiji Yoshikawa, Sachiko Murata, Paul Sussman dan tentu tak ketinggalan George RR Martin dengan karyanya Game of Thrones.
Dinding sebelah barat, terpampang sekitar 26 foto panorama alam, laut serta aktivitas para pekebun dan aktivitas pasar, yang adalah karya dari komunitas fotografi yang sangat aktif melakukan foto hunting.
Dinding belakang kedai kopi tepat di belakang meja barista, terpampang lukisan kopi berbahan acrylic on canvas yang dilukis oleh pelukis Indigo, samping kirinya ada lukisan Coffee on canvas bergambar peta sulawesi dan bertuliskan Kopi Celebes sementara di samping kanan tergantung karya seni Coffee on Canvas yang bergambar cangkir kopi dengan kepulan asap dan bertuliskan SHAAD.
Dinding sebelah timur dihiasi dengan wallpaper yang berwarna khas kopi, dengan motif tulisan berisi kata-kata dalam bahasa Inggris yang identik dengan kopi serta sebuah jam dinding bulat yang bernuansa kopi dengan tulisan Roasted Coffee Espresso Bold.
Assalamu alaikum, CEO. Sambil masuk dan bersalaman dengan Harry dan Donny, ketua komunitas Fotografi Bung Yodi.
Waalaikum salam Yodi,...kabar hari ini? Tanya Jimmy dengan antusias.
Alhamdulillah, aman CEO”. Jawab Yodi sambil memesan kopi susu.
Yodi memang selalu memanggil Jimmy dengan julukan CEO. Memang anak-anak yang sering nongkrong di kedai kopi Shaad seringkali memberikan julukan yang aneh-aneh buat penghuni tetap (begitu yang mereka selalu bilang). Mulai dari julukan CEO, Yang Mulia, Tuan, sampai Raden Mas. Dan anehnya julukan-julukan itu pun diamini bersama oleh semua penghuni tetap itu.
Yodi mengambil tempat duduk tepat berada disamping Harry, sebuah meja paling depan samping kiri di arah dinding barat. Sambil membuka Macbook, Yodi mulai beraktivitas dengan mengutak-atik video yang dia buat untuk dipublish di channel You Tube miliknya yang bertajuk Boss Cendols.
Yodi adalah sarjana sinematografi yang ahli dalam bidang cetak mencetak, fotografi dan film. Tak heran selepas kuliah Yodi mendirikan usaha percetakan, yang menerima cetakan dari berbagai macam bahan, mulai dari bahan kertas, plastik, kaca dan lain-lain. Di kota ini profesi Yodi lebih terkenal sebagai seorang Fotografer.
“Kopi Susu”...Jimmy berkata sambil meletakkan kopi susu pesanan Yodi tepat disamping asbak segi empat yang bertulis L.A Bold.
“Jimmy, gabung yuk sini, kita lagi mau membahas temaun-temuan lapangan si Harry tentang perilaku pemilih”,..seru Donny kepada Jimmy.
“Siaaap, Brader”,..Balas Jimmy dengan antusias, dan langsung menempati bangku di samping Donny yang menghadap dinding barat.
“Gila yach,...perilaku pemilih hari ini sangat pragmatis bro,...semua-muanya diukur dengan uang” kata Harry sembari membuka diskusi mereka.
“Pragmatis itu kan, udah ada memang dari pemilu-pemliu yang lau brader,...tidak bisa kita pungkiri semua ini karena ekses dari terbukanya kran kebebasan berpendapat yang kebablasan itu yang kita kenal dengan Reformasi”. Kata Donny sambil menyeruput kopi susunya dengan takzim.
“Wah, gawat sudah demokrasi kita kalau begitu, dengan model perilaku pemilih seperti itu?” kata Jimmy dengan santai. Bisa dijelaskan, apa penyebab
sehingga konstituen (grass roots) berperilaku pragmatis? Kurang percayakah terhadap para politisi (caleg)? Partai Politik? Atau apa? Tambah Jimmy dengan semangatnya.
“Pragmatisnya para konstituen hari ini pada kontestasi pemilu setidaknya ada hal yang mendasarinya, brader?” Tangkis Harry sambil menikmati kopi tubruknya.
“Apa itu?” tanya Jimmy dengan tak kalah antusiasnya.
“Salah satu penyebabnya adalah, dulu dan dulu sekali, konstituen (rakyat) sangat antusias mendukung jagonya (caleg) dalam pemilu untuk dapat merebut kursi di parlemen. Berbagai usaha baik perorangan maupun kelompok, mereka mengerahkan segala sumber daya untuk bisa meraup suara, supaya jagoannya bisa memperoleh kursi, tanpa bayaran, betul-betul berjuang dengan semangat karena berharap akan terjadi perubahan ketika jagoannya duduk sebagai anggota parlemen”,...Jelas Harry dengan berapi-api.
“Tapi,....ketika jagoannya sukses duduk sebagai anggota parlemen, terjadi
perubahan sikap (mungkin karena keadaan), sehingga massa pendukungnya secara sadar maupun tidak sadar mulai ditinggalkan. Inilah salah satu penyebab sehingga konstituen (rakyat) menjadi pragmatis ketika menghadapi momentum pemilu”. Tambah Harry
“Paham aku,....dan sangat masuk akal, kalau penyebabnya seperti yang
kau katakan itu Har!”.. sambung Donny mengomentari paparan Harry tadi.
“Ya, itu salah satu temuan aku, ketika melakukan riset sederhana terhadap perilaku pemilih, dan ini mengakibatkan “maraknya” money politic (dalam berbagai bentuk) untuk meraup suara dalam pemilu”. Harry pun menambah komentarnya.
“Kalau kondisinya seperti itu, bagaimana nasib para caleg yang berjuang dengan “menjual” program tapi tidak punya uang cukup untuk “membeli” suara?”...Yodi pun ikut nimbrung dalam diskusi ringan sembari mengutak-atik laptopnya.
“Ada yang berhasil tapi sedikit sekali, lebih banyak yang belum berhasil”, Yodi”. Biasanya kalah pada saat hari-hari terakhir sebelum pemilu. Yach.... semua karena uang”...jawab Harry dengan sedikit prihatin
“Program kampanye yang bagus, perencanaan jangka pendek dan jangka panjang yang dibeberkan oleh para caleg programatik, sesungguhnya diamini oleh massa konstiuen bahwa program yang disampaikan itu bermanfaat bagi mereka.” Ada yang konsisten untuk mendukung, tapi lebih banyak yang “tergoda” untuk mendukung caleg yang memberi uang”..
“Kita pun tidak bisa menyalahkan konstituen seperti itu, penyebabnya,..yach itu tadi, karena ada “luka” masa lalu yang belum bisa hilang dari ingatan, dan akhirnya yang menanggung akibatnya adalah para caleg programatik”. “Luka” yang setiap lima tahun kambuh kembali, yang pedasnya
seperti luka baru yang kecipratan air jeruk, brader”...tandas Harry sambil menghabiskan kopi tubruknya yang berangsur-angsur dingin.
“Nah, kalau seperti ini adanya, apa yang harus dilakukan para caleg programatik, supaya bisa meraup suara signifikan dan berhasil duduk di parlemen untuk pemilu berikut?” tanya Donny dengan penuh harap sambil menyeruput kopi susunya yang hampir tandas.
“Setidaknya, data perolehan hasil suara di setiap kelurahan pada dapilnya harus menjadi referensi untuk dilakukan evaluasi. Evaluasi yang seperti apa?,.. harus membandingakn dengan jumlah pemilih sehingga kita memperoleh persentase suara per kelurahan, per kecamatan dan per dapil. Dimana basis lumbung suara, dimana yang kering suara serta ditempat mana yang penyebaran suaranya merata antar caleg”...
“Setelah itu, program yang telah dikampanyekan minimal dilaksanakan, tentu dengan swadaya dan merangkul konstituen yang bersepakat dan bersepaham. Olehnya, dari tahun ke tahun para caleg programatik bisa mengevaluasi sekaligus melakukan pemetaan dukungan konstituen sambil membuat simpul-simpul di setiap unit”... terang harry dengan penuh antusias laksana seorang penasehat politik
“Bukankah ini sama seperti riset?”. Analisa SWOT (Strengthnes, Weakness, Opportunities and Threat) pun jadi penting yach dalam setiap evaluasi kegiatan?” tanya Jimmy dengan mimik serius.
“Benar, dan harus membiasakan, setiap melakukan sesuatu itu harus berdasarkan data sehingga apa yang dihasilkan minimal mendekati keakuratan dan terutama lebih mempersingkat waktu, tenaga dan uang”.
“Bekerja dengan data, tidak harus menggunakan metodologi yang canggih, cukup dengan metode sederhana, terukur dan sistematis. Dengan demikian apa yang kita lakukan itu lebih dapat dipercaya tingkat keakuratannya”...
Jimmy dengan takzim mendengarkan paparan Harry tentang pentingnya data dan kewajiban melakukan teknik riset sederhana dalam setiap melakukan aktivitas sekaligus mengevaluasi aktivitas tersebut, dengan penuh perhatian.
Dalam ketakziman diskusi atau lebih tepat dikatakan bual-bual yang terjadi di kedai kopi, terdengarlah suara adzan dari corong Masjid yang letaknya tak jauh dari kedai kopi Shaad. Bual-bual pun terhenti sejenak, karena Harry dan Donny sebagai Muslim yang taat, akan menunaikan sholat dzuhur di masjid, sementara Jimmy beraktivitas lagi sebagai tukang bekeng kopi sementara Yodi yang dalam diskusi itu, lebih banyak mendengar dan sekali-kali berkomentar makin tenggelam dengan kerjaannya.
Bual-bual kedai kopi bukan sekadar bualan saja, tapi bual-bual yang penuh makna, bual-bual untuk adu gagasan, bual-bual yang senantiasa membuat para pesertanya berpikir dan terus berpikir dan tentu setiap saat menambah pengetahuannya dengan membaca.
Selesai membaca cerita pendek itu, Arief pun langsung membalas email To : ar.......@gmail.com
Aku udah baca cerpen yang kau kirim ini. Pada prinsipnya, Kau sudah berani mengungkapkan imajinasimu dalam bentuk tulisan, dengan gaya kau sendiri. Seorang penulis itu mempunyai gayanya masing-masing. Tak perlu ragu. Tak perlu takut, apabila tulisan mu masih terasa kurang. Menjadi seorang penulis, harus benar-benar menulis bukan berteori saja. Setidaknya jari-jari kamu sudah menari-nari di atas keybord laptop dan merangkai kata demi kata menjadi sebuah kalimat, dan kalimat demi kalimat menjadi sebuah paragraf, serta paragraf demi pargaraf menjadi sebuah cerita dalam bentuk tulisan.
Go...Ahead Brader,....Kau telah melangkahkan kaki untuk menjadi seorang
penulis. Seorang penulis kadang sepi sendiri dan hanya ditemani dengan suara khas hentakan tuts-tuts keyboard, tapi menjadi sebuah kenikmatan tersendiri mketika apa yang kita pikirkan telah rapi tertulis, itu semua adalah dokumentasi dari alam pikiranmu.
Sejelek-jeleknya karya yang terpenting adalah karya kita sendiri, bukan jiplakan (plagiat) dari karya orang lain. Kita tidak berhak menilai, baik bagusnya sebuah tulisan, yang terpenting ketika kita menulis dengan penuh dedikasi, percayaah tulisan itu akan berjiwa.
OK Brader,...sukses yach... aku tunggu lagi cerpenmu selanjutnya...
Salam Hormat
Arief
Tanda terkirim dalam layar monitor sudah terpampang, dan sukses email balasan sampai kepada alamat yang ditujunya.
Diseberang lautan, di tepi pantai Aries lagi asyik menikmati pisang goreng, dengan teh panas favoritnya sembari menunggu sunset.
“Kring....Kring.....kring... bunyi notifikasi email terdengar dari Handphone
Aries. Langsung Aries mengambil Handphone yang terletak di meja, dan membuka folder Gmail, dan membukanya.
“ Oh,...email balasan dari Arief. Sambil membacanya dengan tersenyum. Selesai membaca, Arief pun langsung membalsa email tersebut
To : Arief.....@gmail.com Terima kasih Brader, atas apresiasinya.
Motivasi ini membuat aku akan terus menulis dan menulis, karena dengan menulis aku bisa menumpahkan isi kepalaku agar supaay bisa dibaca oleh orang.
Insya Allah, cerpen selanjutnya akan segera aku selesaikan.
Salam Hormat
Aries.